Senin, 24 Januari 2011

Kesendirian Tidak Selalu Mematikan!

Banyak orang yang tidak menyukai kesendirian, karena waktu yang dilewati terasa lebih panjang dan melelahkan.
'Sendiri oh sendiri'... Ternyata hal remeh ini bisa menjadi masalah besar bagi sebagian orang! Apakah teman-teman termasuk yang demikian? Memang, kesendirian seringkali diidentikkan dengan hal yang menakutkan, mengesalkan, bahkan menjadi simbol kesedihan. Namun, jika kita mau membuka pikiran, sebenarnya kesendirian itu tidak selalu mematikan!
Kesendirian bisa memiliki dua makna... Pertama, kesendirian menyangkut fisik yang sebenarnya, tanpa ada orang di sekitarnya. Kedua, hanya berbentuk perasaan saja. Bisa jadi seseorang berada di tengah keramaian, namun merasakan kesunyian. Mungkin teman-teman pernah mengalami hal serupa, terutama ketika menemui masalah dengan rekan kerja, sahabat, keluarga, atau pacar? dan lain sebagainya..!
Satu hal yang perlu teman-teman ingat, kesendirian dengan arti apapun sebenarnya bukan masalah jika kita mampu mengelolanya dengan baik, atas perasaan, sikap dan segala situasinya.

Bagaimana kita bisa mengelola kesendirian supaya lebih bermakna? Lakukan hal berikut:
1. Cari kesibukan dengan melakukan aktivitas positif yang sangat teman-teman sukai, misalnya dengan membaca, menulis, olahraga, menyanyi? Apapun kesukaan teman-teman. Dengan cara ini, kesendirian akan terasa lebih menyenangkan!
2. Kedua, ingat-ingat kembali hal-hal yang menjadi impian teman-teman yang belum sempat dilakukan. Teman-teman bisa membuka agenda-agenda pribadi, foto-foto jaman dulu, buku-buku, dan lain sebagainya. Percaya, cara ini akan menyadarkan teman-teman akan sempitnya waktu untuk mewujudkan segalanya. Kalau sudah begini, bukankah kesendirian itu jadi menyenangkan?
3. Ketiga, buat daftar sebanyak-banyaknya tentang keinginan yang ingin teman-teman wujudkan selagi masih hidup. Mungkin dengan cara menuliskan kembali 'keinginan gila' saat teman-teman masih kecil? Atau mimpi-mimpi lain yang belum terlaksanakan? Saat itu teman-teman akan sadar, ternyata banyak sekali hal yang memerlukan kesendirian untuk mewujudkannya!
4. Dan yang terakhir.... Sebenarnya ini merupakan hal "utama" dan yang pertama yang harus teman-teman lakukan... Mendekatlah kepada Yang Maha Mencinta dari segala "MaHA". Kesendirian ini akan semakin menyadarkan hakekat keberadaan kita di dunia. Semakin keyakinan ini kuat, maka akan semakin kokoh kemampuan teman-teman mengarungi kehidupan, dengan segala situasinya.

Intinya, jangan biarkan teman-teman terjebak dalam kesendirian dengan suasana hati yang negatif, membiarkannya berlarut-larut, hingga membuat teman-teman putus asa. Kalau teman-teman mau membuka mata, kita sebenarnya tidak pernah benar-benar sendiri. Ada orang lain di sekitar kita. Yang jelas, pasti selalu ada orang yang bisa teman-teman jadikan teman, dan ajak bicara! Jika teman-teman mau terbuka, dalam kesendirian teman-teman bisa merenungkan banyak hal. Dalam kesendirian teman-teman bisa menemukan kedewasaan, kebijaksanaan, ide brilian, dan memaksimalkan potensi yang teman-teman miliki. Dalam kesendirian pula teman-teman bisa mengungkap kejujuran, yang bisa jadi terkalahkan oleh sombong dan ego yang seringkali teman-teman temukan di keramaian!

Tidak bisa dipungkiri, kesendirian bisa datang kapan saja kepada setiap orang, termasuk kepada teman-teman. Nah, jika suatu saat atau bahkan saat ini teman-teman sedang dilanda "kesepian" alias merasa "sunyi sepi sendiri", teman-teman harus ingat, bahwa kesendirian tidak selamanya mematikan! Kelola-lah perasaan teman-teman dengan baik, dan buatlah kesendirian menjadi lebih bermakna.

Sabtu, 22 Januari 2011

Pengamen di Dumai

Laris Berkat Andai Aku Jadi Gayus

Dumai, 22 Januari 2011 07:48
Sejumlah pengamen jalanan di Kota Dumai, Riau, terdongkrak pendapatannya setelah melantunkan lagu Andai Aku Jadi Gayus ciptaan musisi Gorontalo Bona Paputungan.

Ipong, pengamen berusia 23 tahun yang kerap menghibur tamu di sejumlah kafe-kafe terbuka di Jalan Ombak Kota Dumai, Jumat (21/1), mengaku pertama kali mendengar lirik lagu tersebut di siaran televisi. Ia langsung tertarik dan mencoba untuk menyanyikannya saat mengamen.

"Terbukti saat lagu ini pertama kali saya nyanyikan, pendengar saya langsung tertarik. Bayangkan, setiap satu lagu saya berhasil mengumpulkan uang Rp 10 ribu," katanya.

Dalam semalam Ipong mengaku sanggup menyanyikan lagu Andai Aku Jadi Gayus sepuluh hingga 15 kali di beberapa lokasi berbeda.

"Jadi kalau ditotal uang yang saya dapat dalam semalam itu bisa sekitar Rp 150.000. Pendapatan ini jauh meningkat sebelum adanya lagu Andai Aku Jadi Gayus yang rata-rata setiap malamnya saya paling dapat uang sekitar Rp 40.000," katanya menjelaskan.

Pengakuan serupa juga diungkapkan Satria, remaja 16 tahun yang kerap mengamen di perempatan lampu merah ini mengaku setiap melantunkan lirik lagu berjudul Andai Aku Jadi Gayus ia dapat meraup uang lebih dari Rp 70 ribu dalam sehari.

Jumlah tersebut juga jauh besar dibandingkan sebelum adanya lagu Andai Aku Jadi Gayus yang diperkirakannya rata-rata hanya Rp 20 ribu sampai Rp 30 ribu per harinya.

"Lagu ini menjadi lagu andalan saya karena dapat menarik hati pendengarnya, dan banyak pengamen lainnya juga sama," katanya. [TMA, Ant]

Pengorbanan SeOrang Adik

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!” Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…”
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?” Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku.”Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya.”Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.” Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).
Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !” Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?” Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…” Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.”Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23, Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.” Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan istrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?” Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?” Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!” “Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, membawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa berpikir ia menjawab, “Kakakku.” Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.