Kamis, 01 April 2010

Mekanisme Timbulnya Polyuria dan Gejala Klinis Terkait Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau DM Tipe 2

Sebagai perawat yang profesional, dalam bekerja perawat harus berpedoman pada etika dan hukum profesi. Etika dan hukum menjaga tindakan perawat agar tetap berada di jalur yang benar. Menurut kaidah dasar bioetik, dalam membuat keputusan perawat harus membuat pertimbangan dari beberapa alternatif, untuk ditentukan satu pilihan yang akan diberikan pada pasiennya. Pertimbangan ini berdasar pada:
1. beneficence (tanpa pamrih),
2. autonomy (pasien mempunyai otoritas sendiri),
3. non-maleficence (menolong pasien emergensi), dan
4. justice (adil, memperlakukan sesuatu secara universal).

Polyuria adalah dimana ekskresi urin yang besar atau berlebihan dalam periode tertentu. Sedangkan diabetes adalah adanya berbagai gangguan yang ditandai dengan polyuria (Dorland, 2002).
Diabetes umumnya terbagi menjadi 2, yaitu Diabetes Insipidus (DI) dan Diabetes Mellitus (DM). Namun, umumnya istilah diabetes cenderung merujuk pada Diabetes Mellitus. DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dikendalikan sedemikian rupa agar penderitanya tetap dalam keadaan sehat secara umum, tidak mengalami komplikasi tertentu. Karena itu, ilmu penyakit dalam khususnya endokrinologi, perlu dikaji lebih dalam agar masyarakat juga dapat menjadi lebih peka dan tanggap terhadap isu DM.

A. Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario:
Wanita berumur 45 tahun, BB 45 kg, TB 156 cm, datang ke poliklinik Penyakit Dalam Sub, Bagian Endokrinologi dengan keluhan poliuria, kedua kaki terasa kesemutan (polineuropati), dan mata kabur. Sejak 2 tahun yang lalu penderita merasakan sering buang air kecil, banyak makan tetapi badan semakin kurus, dan pernah berobat ke dokter, kemudian didiagnosis DI. Anak laki-lakinya 11 tahun, menderita DM dan sekarang menggunakan insulin. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan.

Hasil CT scan absomen kesimpulan : kalsifikasi pada kelenjar pankreas.
Laboratorium darah : gula darah puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl, creatinin 2,0 mg/dl.
Urin rutin : protein positif (+++), reduksi (+++).

Oleh dokter poliklinik penderita diberi Obat Anti Diabetik oral (OAD), selanjutnya dirujuk ke poliklinik gizi dengan diet DM 1700 kalori, poliklinik mata dan poliklinik neurologi. Selain itu penderita dianjurkan latihan jasmani setiap hari dan kontrol rutin setiap bulan karena penyakit ini sebagian besar harus menjalani pengobatan selama hidup.

Dari gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa pasien dalam kasus diatas menderita DM tipe 2. Hal ini dapat diketahui dari gejala polyfagia dan polyuria, penurunan berat badan yang sebabnya kurang jelas, usia onset yang lebih dari 40 tahun, serta keluhan adanya polineuropati dan mata kabur (retinopati).

Polifagia terjadi akibat jaringan tubuh tidak mendapatkan suplai glukosa yang cukup akibat gagalnya insulin membuka kanal glukosa. Akibatnya, glukosa darah menumpuk, namun tubuh tetap merasa lapar. Karena glukosa tidak dapat mencukupi kebutuhan energi jaringan, maka tubuh mengambil energi tersebut dari sumber energi yang lain, seperti lemak atau protein, sehingga lama kelamaan pasien menjadi semakin kurus. Selanjutnya, karena ginjal mempunyai ambang batas tertentu terhadap filtrasi glukosa, maka glukosa ikut lolos sehingga keluar bersama urin. Karena itu pengujian urin untuk glukosa reduksi mempunyai hasil posisitif (+++). Untuk menjaga agar urin tidak terlalu pekat, ginjal mempunyai sistem pengaturan sendiri, sehingga cairan tubuh ikut keluar bersama urin, dan jaringan tubuh mengalami dehidrasi. Sebab itu, penderita DM pada umumnya merasa sering haus (polidipsi). Gejala klinis berupa polineuropati dan retinopati berkaitan dengan akumulasi fruktosa dan sorbitol. Secara umum, penumpukan fruktosa dan sorbitol mengganggu kerja sistem saraf, namun secara khusus keduanya jelas terlibat dalam patogenesis katarak diabetika. Kadar kreatinin dan hasil uji protein urin yang abnormal juga menunjukkan salah satu komplikasi DM, yaitu defisiensi kerja ginjal. Ginjal tidak mampu menyaring protein dengan baik, sehingga protein ikut terlarut dalam urin. Adanya kalsifikasi pada pankreas menunjukkan terganggunya fungsi pankreas dalam memproduksi insulin dalam jumlah normal.

Secara umum menurut referensi yang ada, DM mempunyai sebab yang belum begitu jelas. Namun, diduga faktor genetik yang didapat (idiopatik) menempati urutan teratas dalam penyebab DM, walaupun mekanisme genetika DM belum dapat dipaparkan secara jelas seperti halnya pada kasus buta warna. Jadi anak laki-laki pasien tersebut bisa saja menderita DM tipe 1 karena faktor genetik tersebut.

Terapi DM sebaiknya dimulai dengan terapi non-farmakologis sebagai pilihan pertama. Apabila belum berhasil, maka dapat dapat dibantu dengan terapi farmakologis. Terapi non-farmakologis diterapkan melalui terapi gizi medis, latihan jasmani, dan pengaturan berat badan (BB). Pasien tersebut mempunyai BMI 18,49 kg/m2, dan hal tersebut mendekati nilai normal (18,5-25─menurut Depkes RI), sehingga hanya perlu dijaga agar selalu dalam batas normal. Terapi diet atau gizi medis juga harus disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien, harus dijaga agar tidak terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah. Karena itu, setelah menghitung kebutuhan kalori, pasien diberikan diet DM 1700 kalori. Untuk terapi farmakologis, berupa obat antidiabetik dan insulin, diberikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Pada umumnya, untuk pasien DM tipe 2 yang tidak tergantung pada insulin untuk hidup, dapat diberikan OAD. Namun, pertimbangan lain yang biasanya diambil oleh para dokter untuk menjaga pankreas bekerja normal tanpa “dipaksa” untuk memproduksi insulin dapat menjadi pilihan terapi lain, yaitu dengan memberikan insulin eksogen. OAD pun terdiri dari beberapa jenis, yaitu sulfonilurea, meglitinid, biguanid, tiazolidinedion, dan penghambat enzim α-glikosidase. Pemilihan OAD ini sangat tergantung pada kondisi pasien serta komplikasinya. Misalnya, pasien yang underweight, atau sedang hamil tidak boleh menggunakan OAD, tetapi harus diganti dengan insulin. Metformin dari golongan biguanid, misalnya, walaupun terbukti cukup aman, tidak dapat digunakan untuk terapi pada pasien dengan defisiensi fungsi ginjal seperti pada kasus.

B. Kesimpulan

1. Berdasarkan perbandingan dengan nilai normal laboratorium dan gejala klinis, dapat disimpulkan pasien menderita DM tipe 2.

2. Hiperglikemia (>200 mg/dl) ditambah dengan gejala khas (poliuria, polifagia, polidipsia, polineuropati, retinopati) DM dapat menjadi dasar diagnosis DM. Selain itu diperkuat dengan hiperkolesterolemia dan glukosuria.

3. Polyuria terjadi karena diuretik osmotik dari urin yang mengandung glukosa berlebih. Polineuropati dan retinopati terjadi akibat akumulasi fruktosa dan sorbitol sebagai salah satu efek dari hiperglikemia persisten. Sedangkan BB pasien berkurang karena lemak dalam jaringan adiposa digunakan untuk menggantikan glukosa sebagai sumber energi yang tidak dapat masuk ke reseptor akibat resistensi insulin.

4. Hubungan genetika DM belum ditemukan dengan jelas, namun seluruh referensi yang didapatkan merujuk pada adanya kaitan DM dengan genetika.

5. Penatalaksanaan pasien DM tipe 2 harus memperhatikan kondisi dan kesehatan serta komplikasi pasien, agar dapat ditemukan terapi yang tepat untuk pasien. Diutamakan terapi non-farmakologis dahulu, apabila hasilnya kurang baik maka dapat dibantu dengan terapi farmakologis.

C. Saran

1. Sebaiknya pasien meningkatkan sedikit berat badannya (BMI pasien 18,49 kg/m2, sedangkan BMI yang normal menurut Depkes RI adalah 18,5-25 kg/m2) agar masuk kategori nilai normal, dengan demikian tidak berisiko bila diberikan OAD.

2. Poin terpenting dalam penatalaksanaan penderita DM adalah menjaga agar kadar glukosa darah pasien tetap berada di dalam atau mendekati angka normal, dengan demikian menjauhi risiko timbulnya komplikasi.

3. OAD yang diberikan pada pasien sebaiknya tidak mempunyai kontra indikasi untuk kelainan fungsi ginjal.

4. Latihan jasmani yang dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, tidak boleh terlalu melelahkan.

5. Sebaiknya pasien dan keluarganya diberi edukasi untuk tetap menjaga kesehatan pasien, dengan pola hidup sehat dan patuh terhadap anjuran dokter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar